Hadits Jibril
8 min readHADITS KEDUA
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذَ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالََ: يَامُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهَ وَأَنَّّّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً” قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبَِرْنِيْ عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: “أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ” قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: “أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ”. قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: “مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ” قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَتِهَا، قَالَ: “أَنْ تَلِدَ اْلأََمَةُ رَبَّتَهَا. وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ، يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ”. ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي: “يَا عُمَرُ! أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلُ؟” قُلْتُ: الله وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: “فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ”. رواه ومسلم.
Dari Umar Radiyallahu’anhu juga: “Ketika kami duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncullah seorang pria yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya, tak terlihat padanya bekas safar, dan tidak ada seorangpun yang mengenalinya. Kemudian orang tersebut duduk di hadapan Rasulullah, menempelkan lututnya dengan lutut Rasulullah dan meletakkan dua tangannya di paha Rasulullah seraya berkata: “Ya Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam!,
Rasulullah bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya, engkau dirikan shalat, keluarkan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah jika mampu.” Penanya tadi berkata: “Engkau telah benar,”kamipun heran dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian berkata: “Kabarkan kepadaku tentang Iman!, Rasulullah menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada hari akhir serta mengimani qadar yang baik dan jeleknya”. Orang tersebut berkata: “Engkau benar”, kemudian berkata: “Kabarkan kepadaku tentang Ihsan!, Rasulullah menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu”. Orang tersebut berkata lagi: “Kabarkan kepadaku kapan hari kiamat!, Rasulullah menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”, orang tersebut bertanya lagi: “kabarkan kepadaku tanda-tandanya! Rasulullah menjawab: “Seorang budak melahirkan tuannya, orang-orang yang telanjang kaki dan badan serta miskin berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan”. Umar berkata: “Orang itu pun pergi, dan aku pun diam beberapa saat, kemudian Rasulullah berkata: “Wahai Umar tahukah engkau siapa orang yang bertanya tadi?, aku menjawab: “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu”, Rasulullah bersabda: “Dia adalah Jibril datang untuk mengajari masalah agama kalian” (HR. Muslim)[1].
Syarah:
Ini adalah hadits yang agung, telah mencakup seluruh kewajiban amal yang dhahir maupun yang batin, ilmu-ilmu syar’i seluruhnya kembali kepada hadits ini dan tercabang darinya, karena hadits ini mengandung seluruh ilmu sunnah, sehingga seperti induknya sunnah, sebagaimana Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur’an karena mengandung seluruh isi al-Qur’an.
Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya memperbagus pakaian dan penampilan serta berpakaian bersih ketika hendak menemui ulama, orang yang mempunyai kedudukan atau hendak menemui raja, karena kedatangan Jibril itu adalah untuk mengajari manusia dengan perkataan, sikap serta keadaannya.
Perkataan dalam hadits ( ( لايرى عليه أثر السفرyang masyhur dengan dhommah huruf ya’ pada kata يرى adalah mabni lima lam yusamma fa’iluhu, sebagian lagi meriwayatkan dengan fathah huruf nun, keduanya benar.
Perkataan dalam hadits “Meletakkan dua telapak tangannya di atas dua paha, dan berkata ya Muhammad” demikian riwayat yang masyhur dan shahih.
Imam Nasa’i meriwayatkan hadits yang semakna dengan itu yakni “Meletakkan dua tangannya di atas dua lutut Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam” dengan demikian hilanglah ihtimal (kemungkinan bermakna lain) dalam lafadz Muslim, karena dalam lafadz Muslim “meletakkan dua telapak tangannya di atas dua paha” lafadz yang muhtamal (lafadz yang kemungkinan bermakna ganda). Dari hadits ini diambil faedah: “Bahwa kata Iman dan Islam itu adalah dua hakikat yang berbeda menurut bahasa ataupun syariat. Inilah hukum asal nama yang berbeda tetapi syariat telah meluaskan pemakaiannya, sehingga salah satunya bisa dipakai untuk menamai yang lainnya.
Perkataan dalam hadits: “Kamipun heran dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya” Yang menyebabkan mereka merasa heran adalah karena ilmu yang dibawa oleh Nabi tidak diketahui kecuali darinya, padahal orang ini tidak pernah diketahui bertemu dengan Nabi atau mendengar darinya, tapi ternyata orang tersebut bertanya dengan pertanyaan orang yang alim, muhaqiq (sedang memastikan) dan musaddiq (membenarkan), sehingga mereka menjadi heran.
Perkataan dalam hadits: “Engkau beriman kepada Allah malaikat-malaikat dan kitab-kitab-Nya” Iman kepada Allah adalah membenarkan bahwasanya Allah itu mempunyai sifat-sifat yang mulia dan sempurna, suci dari sifat ketidaksempurnaan, bahwasanya Allah itu satu, Maha Benar, yang sangat mulian, Esa, yang menciptakan seluruh makhluk, berbuat sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Iman kepada malaikat adalah membenarkan bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, tidak pernah membantah perintah Allah dan mereka selalu mengamalkan perintah Allah.
Iman kepada rasul-rasul Allah adalah membenarkan bahwa mereka jujur dalam menyampaikan berita dari Allah, Allah menguatkan mereka dengan mukjizat yang menunjukkan kebenaran mereka, bahwa mereka menyampaikan risalah Allah, menjelaskan kepada orang mukallaf apa yang Allah perintahkan atas mereka, bahwasanya wajib menghormati mereka dan tidak membedakan salah seorangpun dari mereka.
Iman kepada hari akhir adalah membenarkan akan adanya hari kiamat dan hal-hal yang akan terjadi pada dan setelah hari kiamat seperti dibangkitkannya kembali manusia setelah mati, dikumpulkannya manusia di padang mahsyar, disebarkannya catatan amal, adanya hisab, mizan, shirat, sorga dan neraka – sebagai balasan bagi orang yang berbuat baik dan yang berbuat jelek– dan perkara lainnya yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih.
Iman kepada takdir adalah membenarkan perkara yang telah disebutkan di atas. Dan kesimpulannya adalah firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
“Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan” (As Shafat: 96).
Dan firman-Nya:
إِنَّا كُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan taqdir masing-masing” (Al Qamar: 49).
Dan ayat yang semisal dengan ini. Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Abbas:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.
“Ketahuilah apabila umat bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu, dan jika mereka bersatu untuk memudaratkan engkau, mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu, qalam telah diangkat dan lembaran telah kering”.[2]
Madzhab salaf dan imam-imam yang mengikuti mereka telah berkata: Barangsiapa yang membenarkan seluruh perkara ini dengan keyakinan yang kuat tanpa ada keraguan sedikitpun, maka dialah mukmin yang hakiki dan baik pula keyakinannya, dikarenakan bukti-bukti yang kuat ataupun dari keyakinannya yang kuat.
Perkataan dalam hadits tentang Ihsan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya” kesimpulannya kembali kepada masalah harusnya memantapkan ibadah, menjaga hak-hak Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, mengingat keagungan dan kemuliaan Allah ketika beribadah.
Perkataan dalam hadits: (فأخبرني عن أمراتها) dengan fathah huruf hamzah, Amarat artinya tanda-tanda.
Hamba sahaya disini maknanya adalah budak perempuan yang sudah melahirkan, ربتها adalah tuannya, dalam satu riwayat dengan kata. بعلها
Telah diriwayatkan bahwa ada seorang Arab gunung ditanya tentang unta, maka ia menjawab: “Akulah ba’lnya, suami juga bisa disebut ba’l, tapi dalam hadits ini dengan kata ربتها ta’nits.
Para ulama berselisih dalam pengertian kalimat “Hamba sahaya wanita melahirkan tuannya”.
Ada yang menyatakan bahwa nanti kaum muslimin bisa mengalahkan negeri orang kafir sehingga banyak budak, akhirnya jadilah anak budak dari hasil hubungan dengan tuannya seperti kedudukan tuannya karena kemuliaan bapaknya, jika demikian maka yang menjadi tanda hari kiamat adalah berkuasanya muslimin atas orang kafir dan banyaknya mereka menaklukkan negeri kafir hingga banyaklah budak belian.
Ada juga yang menyatakan maknanya adalah sudah rusaknya keadaan manusia, hingga para pemilik budak menjual Ummahatul Aulad (budak perempuan yang telah melahirkan anak dari hasil hubungan dengan tuannya), Ummahatul Aulad tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan pembeli lainnya, kadang mungkin dibeli oleh anaknya dalam keadaan tidak merasa bahwa dia itu adalah ibunya. Jika demikian maknanya, maka yang menjadi tanda hari kiamat adalah sudah menyebarnya kejahilan tentang haramnya menjual Ummahatul Aulad.
Ada juga yang menyatakan maknanya adalah banyaknya anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, seorang anak memperlakukan ibunya seperti perlakuannya terhadap budak yaitu merendahkan ibunya, serta mencercanya. Lafadz العالة dengan tanpa tasdid pada huruf lamnya, adalah jama’ (plural) dari kata عائل artinya faqir.
Dalam hadits ini ada nash dimakruhkannya meninggikan dan menghias bangunan jika tidak tidak dibuthkan, telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
يُؤْجَرُ ابْن آدَمَ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مَا وَضَعَهُ فِيْ هذَا التُّرَابِ
“Manusia akan diberi pahala dalam seluruh amalannya kecuali yang ia keluarkan pada tanah ini”[3].
Rasulullah wafat dalam keadaan belum pernah meletakkan satu batu di atas batu lainnya atau satu bata di atas bata lainnya yakni: beliau tidak menghias-hias rumahnya, tidak meninggikan ataupun memperindahnya.
Perkataan dalam hadits: “penggembala kambing” beliau mengkhususkan menyebut penggembala kambing karena mereka adalah orang gunung yang paling lemah, maknanya: walaupun mereka lemah dan jauh dari kemungkinan bisa membangun –berbeda dengan pemilik unta yang mayoritas dari mereka bukan orang miskin atau faqir – tapi mereka bisa meninggikan bangunannya pent-.
Perkataan dalam hadits: (فلبثت) telah diriwayatkan dengan huruf ta, yakni Umar Radiyallahu’anhu diam beberapa saat, diriwayatkan pula dengan فلبثتtanpa huruf ta yakni Nabi diam beberapa saat setelah Jibril pergi, dan makna tersebut shahih.
Perkataan dalam hadits مليا dengan tasydid huruf ya’, yakni diam beberapa lama, kondisi seperti itu berulang sebanyak tiga kali, demikianlah dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya.
Perkataan dalam hadits: “Dia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian” yakni kaidah –kaidah agama kalian atau pokok-pokok agama kalian. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhyidin dalam syarahnya terhadap hadits ini dalam syarah shahih Muslim.
Yang paling penting dalam hadits ini adalah penjelasan tentang Islam, Iman dan Ihsan serta wajibnya beriman tentang adanya taqdir Allah Ta’ala, beliau menerangkan penjelasan Islam dan Iman dalam hadits ini sangat panjang lebar, beliau membawakan pendapat-pendapat para ulama diantaranya yang ia nukilkan dari Abil Husain yang ma’ruf dengan nama Ibnu Baththal Al Maliki: “Mazhab Ahlus sunnah dari salaful ummah dan pengikut mereka: “Iman itu adalah perkataan dan amalan serta iman itu bisa bertambah dan berkurang, dengan dalil:
لِيَزْدَادُوْا إِيْمَنًا مَّعَ إِيْمَنِهِمْ
“Supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath: 4). Dan ayat-ayat yang semisalnya. Sebagian ulama berkata: pembenarannya itu sendiri tidak bertambah dan tidak berkurang sedangkan Imam Syar’i berpendapat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan hasil-hasilnya dan kekurangannya yaitu dengan amalan-amalan, mereka berkata: Dengan demikian dapat mempertemukan antara dhahir-dhahir nash yang menyatakan ada tambahan Iman dengan asal peletakkan dalam bahasa, apa yang dikatakan mereka walaupun sepertinya benar, namun yang paling benar adalah pembenaran juga akan bertambah dengan banyak melihat dhahir nash. Oleh karena itu Iman mushaddiqin lebih kuat dibandingkan selain mereka yang tidak akan menipu kepada mereka suatu kebodohan, imannya tidak akan goncang ketika ada syubhat, hati mereka terus lapang dan bersinar walaupun situasi silih berganti. Adapun orang lain yang sedang dijinakkan hatinya atau yang sederajat dengan mereka keadaannya tidak demikian. Hal ini tidak bisa diingkari dan tidak diragukan lagi bahwa tashdiq (pembenaran) yang ada pada diri Abu Bakar tidak akan bisa disamai oleh tashdiqnya seorangpun. Oleh karena itu Imam Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, telah berkata Ibnu Mulaikah: “Aku bertemu dengan tiga puluh orang shahabat Nabi seluruhnya menghawatirkan kemunafikan atas dirinya, tidak seorangpun yang berkata Iman mereka seperti Imannya Jibril dan Mikail ‘alaihimassalam. Adapun memakai kata Iman atas amalan telah disepakati oleh ahlul haq dan dalilnya banyak tidak terhitung. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَنَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian” (Al Baqarah: 143). Yakni shalat kalian. Telah diceritakan dari Abu Amr bin Sholah ketika menjelaskan hadits “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya dan menegakkan shalat…” kemudian menafsirkan Iman: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya …” beliau berkata: “Ini adalah penjelasan pokok Iman, yaitu tashdiq (pembenaran) dalam batin, dan penjelasan pokok Islam yaitu berserah diri dan tunduk dalam dhahir. Hukum Islam dalam dhahir ada dengan mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian ditambahkan kepadanya shalat, zakat, puasa dan haji, karena keempatnya adalah syiar Islam yang paling tampak dan paling agung. Dengan ditegakkannya empat perkara ini menjadi benar pengakuannya kepada Islam. Kemudian kata Iman mencakup juga seluruh tafsir Islam. Dalam hadits ini bahkan mencakup seluruh amalan taat, karena seluruh amalan taat adalah buah dari tashdiq batin yang merupakan pokok Iman.
Oleh karena itu nama Iman yang mutlaq (sempurna) tidak diberikan kepada orang yang melakukan dosa besar atau yang meninggalkan satu kewajiban, karena nama sesuatu secara mutlaq tidak diberikan kecuali kepada yang sempurna dan tidak diberikan kepada sesuatu yang kekurangannya tampak jelas kecuali dengan niat yang lain.
Demikian pula boleh menafikan Iman mutlaq (iman yang sempurna) dari orang seperti ini, sabda Rasulullah:
“لاَيَزْنِي الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَيَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang yang zina ketika berzina dalam keadaan beriman yang mutlaq, tidaklah seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman yang mutlaq” (HR. Bukhari Muslim).
Nama Islam juga mencakup pokok Iman yakni tashdiq, dan mencakup seluruh pokok ketaatan karena seluruhnya adalah berserah diri kepada Allah, beliau berkata: “kesimpulan dari pembahasan kita adalah kata Iman dan Islam kadang satu makna dan kadang berbeda, seluruh orang beriman adalah muslim tapi orang muslim belum tentu beriman, tashdiq ini cukup dengan taufiq Allah. Nash-nash Al Qur’an dan sunnah yang diriwayatkan dalam masalah Iman dan Islam banyak dipahami keliru oleh orang yang menganut agama tanpa ilmu. Dan apa yang kami tahqiq disini adalah penjelasan yang sesuai dengan mazhab jumhur ulama ahlul hadits dan selain mereka.
Wallahu A’lam.
[1] HR Muslim (1)
[2] HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Salim Alhilai ‘Iqadhul Himam. Lihat penjelasan hadits ini di no: sembilan belas.
[3] (Jami’us Shahih: 4442 sebagaimana dalam “Qawaid wal fawaid”)