Maret 29, 2024

ALMUBARAK

MEDIA BERBAGI FAEDAH

Syarah Arba’in (34)

5 min read

HADITS KETIGA PULUH EMPAT

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ. رواه مسلم.

Dari Abi Sa’id Al Khudry Radiyallahu’anhu ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang diantara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya Iman” (HR. Muslim).

Syarah:
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Thariq bin Syahab, ia berkata: “Orang yang pertama khutbah Ied sebelum shalat adalah Marwan, kemudian berdirilah seseorang dan berkata: “Shalat sebelum khutbah! Lalu ia berkata: “Sesungguhnya telah ditinggalkan apa yang ada disini. Abu Sa’id berkata: “Sesungguhnya hal ini telah ditetapkan: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Barangsiapa diantara kalian melihat satu kemungkaran hendaklah merubahnya…. hingga akhir hadits” dalam hadits ini terdapat dalil bahwa sebelum Marwan tidak ada yang melakukan hal itu.
Jika dikatakan mengapa Abu Sa’id terlambat mengingkari kemungkaran tersebut sehingga didahului seorang laki-laki? Jawabnya: “Hal itu dimungkinkan Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan mendahulukan khutbahnya, sehingga seorang laki-laki mengingkarinya setelah itu barulah Abu Sa’id datang dalam keadaan keduanya dalam perdebatan. Dimungkinkan juga ia telah hadir namun mengkhawatirkan dirinya jika mengingkari sehingga mengakibatkan fitnah dengan sebab pengingkarannya, sehingga jatuhlah kewajiban pengingkaran tersebut darinya. Kemungkinan juga Abu Sa’id ingin mengingkarinya tetapi orang tadi mencegahnya sehingga Abu Sa’id membantu orang tersebut. Allahu A’lam.

Telah ada pula dalam hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dan dikeluarkan oleh keduanya pada bab tentang shalat Ied: “Abu Sa’id adalah orang yang menarik tangan Marwan ketika datang untuk naik mimbar, keduanya bersama-sama, Abu Sa’id juga mencegah Marwan sebagaimana laki-laki tersebut.
Adapun perkataannya: “Hendaknya ia merubahnya” adalah perkara wajib menurut ijma’ umat. Sesungguhnya al Qur’an dan as Sunnah menegaskan kewajiban untuk memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Hal ini juga termasuk nasehat yang mana nasehat itu adalah agama.
Adapun firman Allah Ta’ala: “Atas kalian diri kalian tidak memudhartkan kalian orang yang sesat setelah kalian dapat petunjuk” tidaklah bertentangan dengan yang telah kami paparkan, karena madzhab yang shahih disisi para muhaqqiq tentang ayat yang mulia ini adalah jika telah mengetahui perkara yang dibebankan kepada kalian maka tidak membahayakan kalian pengurangan dari orang lain seperti firmannya: “Seseorang tidak akan menanggung dosa yang dilakukan orang lain”.
Jika demikian tiap muslim dibebani untuk beramar ma’ruf nahi munkar, dan bukan ‘aib jika orang yang menyampaikan tidak diikuti, karena kewajibannya hanya beramar ma’ruf nahi munkar bukan penerimaan (dari orang yang dida’wahi). Allahu A’lam.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu kifayah, jika sebagian orang telah melaksanakan maka gugurlah dosa dari orang yang lainnya. Jika semua meninggalkannya berdosalah orang yang punya kemampuan untuk melaksanakannya tanpa udzur. Kemudian kadang menjadi fardhu ‘ain atas seseorang seperti apabila tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia, atau tidak mampu melaksanakannya kecuali dia, seperti orang yang melihat istri, anak atau budaknya melakukan kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajiban.
Para ulama berkata: “Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidak gugur hanya semata karena diperkirakan tidak akan diterima, bahkan tetap harus dilakukan. Allah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Peringatkanlah karena peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin”

Telah dijelaskan bahwa kewajiban dia adalah amar ma’ruf nahi munkar bukan harus diterima oleh orang lain. Allah berfirman:
مَا عَلَى الرَّسُوْلِ إِلاَّ الْبَلاَغُ
“Tidak ada kewajiban rasul itu selain menyampaikan”

Para ulama berkata: “Tidak disyaratkan orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar itu harus sempurna keadaannya, mengamalkan apa yang dia perintahkan dan menjauhi apa yang dia larang. Bahkan ia harus melakukan amar ma’ruf walaupun kadang menyelisihinya. Karena kewajiban atasnya ada dua: Melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada dirinya sendiri, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang lain, jika melakukan salah satunya tidak menggugurkan yang lainnya.
Mereka berkata: “Amar ma’ruf nahi munkar tidak khusus dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh setiap individu muslim. Yang melakukan amar ma’ruf adalah yang mengerti perkara yang ia suruh atau larang untuk diperintahkan. Apabila perkara-perkara yang jelas seperti masalah shalat, puasa, zina, minum khamar dan lainnya, maka semua muslim dianggap alim (berhak untuk amar ma’ruf nahi munkar) dalam masalah ini. Apabila dalam masalah yang rumit, masalah perkataan atu perbuatan, atau masalah ijtihadiyah, yang tidak mungkin diketahui orang awam, maka mereka tidak boleh mengingkarinya, bahkan yang melakukannya haruslah ulama. Dan ulama pun mengingkari perkara yang sudah disepakati, adapun dalam masalah yang masih diperselisihkan tidak boleh mengingkarinya. Karena menurut salah satru pendapat: setiap mujtahid dapat pahala, inilah pendapat yang terpilih disisi mayoritas muhaqqiqin. Dan menurut pendapat lain: yang benar itu satu dan yang salah tidak jelas atas kita. Dosa gugur darinya, tapi jika hanya sekedar nasehat untuk keluar dari khilaf, maka itu bagus untuk dilakukan dengan lemah lembut.
Syaikh Muhyidin berkata: “Ketahuilah bab amar ma’ruf nahi munkar telah disia-siakan dalam waktu yang lama. Tidak tersisa pada zaman ini kecuali rambu-rambu yang kecil sekali. Inilah bab yang agung, dengan inilah tegak urusan, apabila banyak kerusakan di bumi maka adzab akan menimpa orang shalih dan thalih. Jika orang shalih tidak menghentikan perbuatan orang dhalim sebentar lagi Allah akan menimpakan adzab yang merata, Allah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Hendaknya takut orang yang menyelisihi perintahnya akan tertimpa fitnah atau terkena adzab yang pedih” (An Nur: 63).

Maka orang yang mencari akhirat dan memperoleh ridha Allah seyogyanya memperhatikan bab ini, karena manfaatnya besar. Apalagi sebagian besarnya telah hilang, jangan segan terhadap orang yang diingkari hanya karena tingginya kedudukan kita, Karena Allah berfirman:
وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَّنْصُرُهُ
“Sungguh Allah akan membela orang yang membela agama-Nya” (Al Hajj: 40).

Ketahuilah pahala itu sesuai amalan, jangan meninggalkan amar ma’ruf karena teman dan orang yang ia cintai, karena yang namanya teman adalah yang berusaha memakmurkan akhiratnya walaupun menyebabkan kurang dunianya, dan musuh itu adalah yang berusaha menghilangkan atau menghurangi akhiratnya walau kemudian memberi manfaat dalam dunianya.
Seyogyanya bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar melakukannya dengan lemah lembut hingga bisa lebih mendekati tujuan yang dimaksud. Imam Syafi’I pernah berkata: “Barangsiapa yang menasehati saudaranya secara diam-diam (tidak dihadapan manusia) sungguh telah menasehati dan memperbaikinya, dan barangsiapa yang menasehatinya dihadapan manusia sungguh telah mencela dan menjelekkannya.
Diantara perkara yang diremehkan manusia dalam bab ini adalah: Jika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan yang ada ‘aibnyaia tidak menjelaskan ‘aib tersebut, mereka tidak mengingkarinya dan tidak memberitahu pembeli keadaan barang tersebut. Padahal mereka akan ditanya tentang masalah tersebut, karena agama ini adalah nasehat, barangsiapa yang tidak memberi nasehat berarti telah menipu.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Hendaklah merubah dengan tangannya, jik atidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya” maknanya: Ingkarilah dengan hatinya. Itu bukanlah menghilangkan atau meruah akan tetapi ini yang bisa ia lakukan.
Sabdanya: “Dan itulah selemah-lemahnya Iman” maknanya – wallahu a’lam – yang paling sedikit buahnya.
Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidak punya hak untuk mencari-cari, meneliti, memata-matai, dan penuh curiga kepada orang, tapi jika ada yang terfgelincir baru ia ingkari. Al Mawardi berkata: “Dia tidak punya hak untuk mencurigai dan memata-matai kecuali jika ada yang mengabari bahwa seseorang berkhalwat dengan temannya untuk membunuhnya, atau dengan perempuan untuk berzina. Karena itu dibolehkan baginya untuk mengintai dan mencari tahu agar tidak luput apa yang tidak mungkin ia dapati lagi.
Sabdanya: “Dan itulah selemah-lemahnya Iman” telah disebutkan maknanya adalah yang paling sedikit buahnya. Dalam riwayat lain:
“Tidak ada setelah itu keimanan sebutir debupun” yakni tidak ada setelah itu tingkatan yang lain. Iman dalam hadits ini maknanya Islam.
Hadits ini sebagai daliul bahwa barangsiapa yang khawtir dibunuh atau dicambuk gugur darinya kewajiban mengingkari kemungkaran, ini adalah madzhab muhaqqiqin dari kalangan salaf dan orang yang mengikuti mereka. Sekelompok orang yang ekstrim berpendapat: “Tetap tidak gugur kewajiban tersebut walaupun khawatir dibunuh”.
(Diterjemah oleh Abdurahman Mubarak Ata)

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.