Februari 16, 2025

ALMUBARAK

MEDIA BERBAGI FAEDAH

syarah Arba’in (22)

3 min read

HADITS KEDUA PULUH DUA

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِاللهِ اْلأَنْصَارِيْ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْمَكْتُوْباَتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتَ الْحَلاَلَ وَحَرَّمْتَ الْحَرَامَ وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلِ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: “نَعَمْ”. رواه مسلم. وَمَعْنَى حَرَّمْتُ الْحَرَامَ: اجْتَنَيْتُهُ، وَمَعْنَى أَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ: فَعَلْتُهُ مُعْتَمِدًا حَلَّهُ.

Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al Anshari Radiyallahuanhu: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dia berkata: Apa pendapatmu jika aku shalat wajib, berpuasa bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram. Dan aku tidak menambah yang lainnya, apakah aku bisa masuk surga? Rasulullah menjawab: Ya (HR. Muslim).

Makna mengharamkan yang haram adalah aku menjauhinya, makna menghalalkan yang halal adalah aku melaksanakannya dengan keyakinan halalnya.

Syarah:
Orang yang bertanya ini adalah Numan bin Qauqol dengan huruf qaf yang difathah-. Syaikh Abu bin Shalah berkata: Yang dhahir maksud mengharamkan yang haram ada dua makna: pertama, meyakini keharamannya kedua, tidak melakukannya. Berbeda dengan menghalalkan yang halal karena cukup dengan meyakini halalnya.
Pengarang kitab Al Mufham berkata: Nabi tidak menyebutkan kepada orang ini ibadah yang sunnah secara global, ini menunjukkan bolehnya meninggalkan perkara tathawu (sunnah) secara keseluruhan. Akan tetapi barangsiapa meninggalkannya dan tidak melakukan sedikitpun ibadah tathawu, (ia telah kehilangan) keuntungan yang banyak dan pahala yang besar. Barangsiapa yang terus menerus meninggalkan perkara sunnah ini merupakan kekurangan dalam agama seseorang dan mencacati keadilannya. Jika meninggalkannya karena meremehkan atau membencinya maka itu merupakan suatu kefasikan yang ia akan dicela karenanya.
Ulama kita berkata: Kalau penduduk satu negeri sepakat untuk meninggalkan satu sunnah mereka harus diperangi sampai ruju. Para sahabat dan orang yang mengikuti mereka telah melaksanakan secara rutin perkara sunnah sebagaimana mereka rutin dalam melaksanakan ibadah yang wajib. Mereka tidak pernah membedakan keduanya dalam mengambil pahala dari keduanya.
Latar belakang para fuqaha membedakan perkara wajib dan sunnah adalah karena berkaitan dengan masalah apakah wajib mengulang satu amalan serta apakah ada hukuman bagi orang yang meninggalkan satu amalan, serta kekahawatiran adanya hukuman jika meninggalkannya dan tidak adanya hukuman jika meninggalkannya dengan sebab tertentu.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak mengingatkan perkara sunnah dan fadhail dalam rangka memberi kemudahan. Karena orang tersebut baru masuk Islam, jangan sampai ia lari dari Islam karena banyaknya amalan yang harus ia kerjakan. Rasulullah tahu apabila Islam sudah mantap dalam hatinya, niscaya ia akan menyenangi amalan yang disenangi muslim lainnya. Atau Rasulullah tidak menyebutkan perkara sunnah agar orang tersebut tidak meyakini perkara sunnah sebagai perkara yang wajib. Demikian pula dalam hadits lain: Ada seorang bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam tentang shalat, beliau mengabarkan lima waktu, penanya berkata apakah ada yang lain? Rasulullah menjawab: Tidak, kecuali engkau mau melakukannya yang tathawu, kemudian bertanya tentang puasa, haji dan syariat Islam lainnya, Rasulullah menjawabnya dan berkata diakhir haditsnya: Demi Allah aku tidak akan menambah atau mengurangi ini. Rasulullah bersabda: Orang ini akan bahagia jika jujur (benar dalam perkataannya) dalam satu riwayat: Jika ia berpegang dengan yang diperintahkan ia akan masuk sorga

Inilah yang dinamakan dengan merutini perkara wajib, menegakkan dan melaksanakannya pada waktu yang ditetapkan tanpa menguranginya – kebahagiaan dan kesuksesan yang besar. Aduhai kiranya kita bisa mendapatkannya.
Barangsiapa yang mengamalkan perkara wajib serta mengiringinya dengan perkara sunnah lebih banyak lagi kebahagiaannya. Karena perkara sunnah disyariatkan untuk menyempurnakan perkara wajib.
Orang yang bertanya dalam hadits ini dan hadits sebelumnya tidak diberitahu perkara-perkara sunnah oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah untuk mempermudah keduanya dan agar keduanya bisa lapang dada dalam memahami dan semangat mendapatkan perkara yang wajib hingga terasa mudah atas keduanya.
(Diterjemah oleh Abdurahman Mubarak Ata)

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.