Mei 18, 2024

ALMUBARAK

MEDIA BERBAGI FAEDAH

Syarah Arba’in (25)

2 min read

HADITS KEDUA PULUH LIMA

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّيْ، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيَْةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً، وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ. رواه مسلم.

Dari Abu Dzar Radiyallahu’anhu juga: Ada sekelompok shahabat Rasulullah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah telah mengungguli kami orang kaya dalam masalah pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tapi mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka. Rasulullah bersabda: Bukankah Allah telah menetapkan sesuatu bagi kalian untuk bershadaqah, sesungguhnya setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, amar maruf adalah shadaqah, nahi munkar adalah shadaqah, dan berjimadengan istri kalian juga shadaqah. Mereka berkata: Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang kami menunaikan syahwatnya termasuk shadaqah? Rasulullah menjawab: Apa pendapatmu jika dia meletakkannya pada tempat yang haram bukankah itu dosa? Demikian pula jika ia melakukannya di tempat yang halal maka baginya pahala (HR. Muslim).

Syarah:
(الدثور) – dengan dhamah huruf dal – jama’ kata (دثر) dengan fathah artinya yang banyak hartanya. Sabdanya: (أوليس قد جعل الله ماتصدقون) dalam riwayat dengan tasdid huruf shad dan dal, dalam satu bahasa boleh juga dengan tidak mentasdid huruf shad.
Dalam hadits ini menjelaskan keutamaan tasbih dan seluruh dzikir, amar maruf nahi munkar, menghadirkan niat dalam perkara mubah. Perkara mubah menjadi ketaatan itu dengan niat yang benar. Juga menunjukkan bolehnya orang yang minta fatwa meminta dalil yang tidak ia ketahui, jika ia tahu yang ditanya tidak akan membencinya dan bertanya dengan akhlak yang baik, serta menunjukkan bahwa seorang alim menyebutkan dalil atas sebagian perkara yang masih samar.
Sabdanya: Amar maruf adalah shadaqah, nahi munkar adalah shadaqah mengisyaratkan adanya hukum-hukum shadaqah atas seluruh macam amar maruf dan nahi mungkar itu lebih kuat dibandingkan pada tasbih dan yang disebutkan setelahnya. Karena amar maruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah, kadang jadi wajib atas orang tertentu. Berbeda dengan dzikir yang merupakan amalan sunnah. Pahala melaksanakan perkara wajib lebih banyak dibandingkan pahala amalan sunnah, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْئٍ أَحَبّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ.
“Tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepadaku yang lebih Aku cintai selain bertaqarrub dengan perkara yang wajib”(HR. Bukhari).
Sebagian ulama berkata: “Pahala perkara wajib lebih tinggi dari perkara sunnah tujuh puluh derajat kemudian membawa satu hadits.
Adapun perkataan beliau: (فى بضع أحدكم صدقة) dengan dhammah huruf ba dipakai dengan makna jima’ dan farj. Kedua makna ini benar jika dimaknakan dalam hadits ini. Telah dijelaskan bahwa perkara mubah bisa menjadi ketaatan. Jima bisa menjadi ibadah jika seorang suami meniatkan untuk memenuhi hak istrinya dan bergaul bersamanya dengan baik, atau mencari anak shalih, atau menjaga kehormatan diri atau istrinya, atau tujuan baik lainnya.
Perkataaan mereka:Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang kami menunaikan syahwatnya termasuk shadaqah? Rasulullah menjawab: Apa pendapatmu jika dia meletakkannya pada tempat yang haram bukankah itu dosa.
Hadits ini menunjukkan bolehnya qiyas. Dan ini adalah madzhabnya ulama, tidak ada yang menyelisihinya kecuali ahlu dzahiri (Pengikut Daud Ad Dhahiri red). Adapun riwayat dari kalangan tabiin dan seperti mereka dalam rangka mencela qiyas bukanlah yang dimaksud qiyas yang dikenal oleh kalangan fuqaha mujtahid, tapi maksudnya mencela qiyas aks (yang bertentangan dengan nash). Ahli ushul berselisih tentang boleh tidaknya beramal dengan qiyas, hadits ini dalil bagi orang yang beramal dengan qiyas.
(Diterjemah oleh Abdurahman Mubarak)

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.